As I wander through this life,
Oh Lord, be thou near to me.
Sunday, March 13, 2011
Thursday, March 3, 2011
Tentang Seseorang.
Pernahkah kamu jatuh cinta dengan orang yang sama untuk kesekian kalinya dan tak pernah berusaha untuk menghentikan yang terjadi? Aku kira itu bukan apa-apa. Aku masih terlalu muda untuk berharap, untuk mencari. Lima belas bukanlah angka yang cukup bahkan untuk berkelana lepas tanpa surat ijin orang tua. Pernahkah kamu bahkan tahu itu cinta? Atau bagimu, cinta adalah seorang pengelana yang menyusup bermain peran pada tubuh yang berganti rupa?
Aku banyak sekali bicara tentang cinta. Terlalu banyak. Sungguh sebuah kontradiksi saat dihadapkan dengan seorang teman baik yang mengasah kedalaman filosofi cinta bersamaku. Cinta adalah kata yang belum pernah ia sebutkan. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Seorang pria paling baik dan rendah hati yang pernah kutahu hidup dan menapakkan kakinya disini. Kepalanya yang tanpa helai rambut terkadang seakan merealisasikan filosofi Budha yang ia yakini. Yang aku yakini. Moralitas yang tertinggi dari segala keduniawian manusia. Bukan itu bukan agama, itu filosofi hidup.
Don’t fall in love with me. Itu yang selalu aku bilang setiap kali dekat dengan seorang pria. Aku tak mau tumbuh tujuan yang lain dalam hubungan kami, kepentingan yang lain. Sama seperti kehidupan nyata, itu hanya akan membuat bias antara yang tulus dan yang menuntut. Berakhir pada kebimbangan dan pilihan yang seharusnya tak usah dipilih.
Adakah dua insan mencinta karena berbeda? Mencinta karena serupa? Mencinta karena mereka adalah yang pertama hadir dan mengajarkan mereka tentang cinta yang paling tulus tanpa nafsu, tanpa materi, hanya kasih yang diagungkan dalam tiap doa kepada Tuhan? Atau karena sebenarnya mereka tak mengerti cinta?
Siapa bilang bicara tentang cinta berarti lemah? Melankolis? Ah, teori. Seorang yang paling sanguinis pun seorang melankolis, mungkin saat berhadapan dengan bayangan dirinya sendiri di balik cermin.
Aku mencintai seorang pria yang sama, setelah waktu yang cukup bagi seorang remaja dengan godaan wajah-wajah tampan yang lalu lalang bahkan di halte bus kota Jakarta. Kontinu. Atau mungkin aku yang menolak untuk memberikan tanda final di akhir kalimat aku mencintainya? Atau karena itu pernah menjadi sebuah janji? Aku tidak sadar dia ada sampai Tuhan menemukan kami. Aku tahu apabila aku tak ada dalam menit-menit itu, mungkin cerita tak akan jadi serumit ini. Atau seindah ini? Tangannya bergerak penuh kejutan dalam genggamanku, erat dan terlepas. Aku sempat membiarkan tangan itu tak tersentuh oleh milikku lagi, aku tak mau menjadi beban. Aku mengasihinya lebih dari apapun. Wajah itu, senyum itu, ceritakan aku tentang tempat terindah di bumi tapi tak ada apapun yang dapat menandingi binar di matanya saat mengantarku pulang di penghujung hari dan senyum kami berpamitan. Bolehkah aku membawanya pulang, memeluknya dalam tidur seperti boneka beruang yang kutemukan di etalase mahal?
Dia lemah dan kuatku. Jarak seperti ini seakan bom waktu dan siksa berbayang yang seringkali datang saat senja dan bayangan membisikkan ketakutannya. Adakah aku telah menjadi yang baik untuknya? Adakah aku yang buatnya tersenyum bangga, tersenyum di saat dunia mengguruinya, dan buatnya menjadi seorang yang lebih baik?
Adakah aku menjelaskan hal yang terlalu rumit dalam sebuah keterkaitan hubungan pria dan wanita?
Aku mengingkari nurani saat dengan jelas mengungkap di depan wajahnya, aku rela bila kami tiba di satu titik saat ia merasa menemukan belahan jiwanya. Dia bilang tidak. Logikaku bicara, hidup itu tidak pernah menjadi sebuah undian. Kadang ia balik tersenyum, dan kadang ia pergi begitu saja. Aku membohongi mimpi yang tertanam saat aku melepas jemarinya pergi. Dan aku selalu bersiap. Jalan kami tak semudah jalan layang yang halus dan mahal. Jalan yang kami lewati sederhana, berlubang. Tapi aku berjanji tak akan melepaskan jemari itu sebelum jemarinya sendiri yang meronta. Bukankah setidaknya saat itu benar akan terjadi, aku tahu aku sudah memberinya bagian terbaik dari jiwa ini? Setidaknya. Ya, setidaknya.
Aku mau tahu bagaimana jika ia tahu ada seorang teman dengan tatapan yang selalu menenangkan yang berjanji menunggu dari jarak ratusan kilometer dan mengatakan, bahwa waktu untuk kami berdua akan datang. Eventually. Aku mau tahu tapi tak mau dia tahu. Aku mau lihat senyum di ujung garis wajahnya yang tegas. Yang manja dan dewasa, yang tidak sempurna tapi hanya raut wajah itu yang kurindukan dalam tiap desah angin yang merayu. Suara dan wajah lain menyapa, tadi tahukah kamu ada suatu saat dimana merekalah angin dan hanya satu yang kausebut dalam doa sebelum tidurmu?
Di akhir doamu dan aku bertanya, iakah benar? Ataukah ini ilusi yang dibentuk oleh cita bawah sadarku? Adakah ia yang kupanggil belahan pribadiku, teman yang membaca hal sebelum kuucap yang tahu raut wajahku saat tak melihatku dari jarak yang tak masuk akal, yang seharusnya kuhampiri? Adakah ketika yang sebenarnya memanggil, aku menulikan hati karena mengikat hati dengan pria yang selalu melangkah bersamaku?
Aku belajar dari melihat dan mendengar, selalu begitu. Aku dikecewakan mereka yang mengaku mencintaiku tanpa pamrih. Janji dan keyakinan mereka atas dunia sirna di ujung lidah mereka sendiri. Seperti porselen cantik yang kusimpan di atas meja, tersenggol sebuah jari dan pecah berkeping-keping. Selesai. Aku menolak untuk menilai. Aku tidak mau tahu karena aku mau dunia yang baik, yang dulu mereka suapkan ke dalam mulutku masih ada masih nyata. Cacat itu bukan harga mati. Bangsat. Mereka kira maaf akan selesai. Lebih tolol daripada seorang anak yang mencuri di bus kota. Menyedihkan dan merasuki sebagian dari jiwa yang tumbuh bersama mereka. Kapan pernah menjadi benar? Dan bilamana semua hanya topeng? Aku kira mereka yang disebut dewasa, disebut pembimbing tinggi.
Keyakinan pada binar mata itu perlahan sirna. Bukan karenanya, tapi karena realitas yang harus terbuka pada akhirnya. Dan aku menolak untuk mencampurkan kami ke dalam kebobrokan cerita mereka. Aku tahu ada sebuah akhir yang menunggu, aku tahu dia selalu menunggu. Dia yang menjadi badut saat aku merengut dan selalu bisa membalasku hingga kehabisan kata. Bodohnya. Satu merasa tak cukup untuk lainnya, selalu begitu. Dan padahal kami tak perlu kemana-mana.
Aku disini, dia disini. Satu.
Aku banyak sekali bicara tentang cinta. Terlalu banyak. Sungguh sebuah kontradiksi saat dihadapkan dengan seorang teman baik yang mengasah kedalaman filosofi cinta bersamaku. Cinta adalah kata yang belum pernah ia sebutkan. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Seorang pria paling baik dan rendah hati yang pernah kutahu hidup dan menapakkan kakinya disini. Kepalanya yang tanpa helai rambut terkadang seakan merealisasikan filosofi Budha yang ia yakini. Yang aku yakini. Moralitas yang tertinggi dari segala keduniawian manusia. Bukan itu bukan agama, itu filosofi hidup.
Don’t fall in love with me. Itu yang selalu aku bilang setiap kali dekat dengan seorang pria. Aku tak mau tumbuh tujuan yang lain dalam hubungan kami, kepentingan yang lain. Sama seperti kehidupan nyata, itu hanya akan membuat bias antara yang tulus dan yang menuntut. Berakhir pada kebimbangan dan pilihan yang seharusnya tak usah dipilih.
Adakah dua insan mencinta karena berbeda? Mencinta karena serupa? Mencinta karena mereka adalah yang pertama hadir dan mengajarkan mereka tentang cinta yang paling tulus tanpa nafsu, tanpa materi, hanya kasih yang diagungkan dalam tiap doa kepada Tuhan? Atau karena sebenarnya mereka tak mengerti cinta?
Siapa bilang bicara tentang cinta berarti lemah? Melankolis? Ah, teori. Seorang yang paling sanguinis pun seorang melankolis, mungkin saat berhadapan dengan bayangan dirinya sendiri di balik cermin.
Aku mencintai seorang pria yang sama, setelah waktu yang cukup bagi seorang remaja dengan godaan wajah-wajah tampan yang lalu lalang bahkan di halte bus kota Jakarta. Kontinu. Atau mungkin aku yang menolak untuk memberikan tanda final di akhir kalimat aku mencintainya? Atau karena itu pernah menjadi sebuah janji? Aku tidak sadar dia ada sampai Tuhan menemukan kami. Aku tahu apabila aku tak ada dalam menit-menit itu, mungkin cerita tak akan jadi serumit ini. Atau seindah ini? Tangannya bergerak penuh kejutan dalam genggamanku, erat dan terlepas. Aku sempat membiarkan tangan itu tak tersentuh oleh milikku lagi, aku tak mau menjadi beban. Aku mengasihinya lebih dari apapun. Wajah itu, senyum itu, ceritakan aku tentang tempat terindah di bumi tapi tak ada apapun yang dapat menandingi binar di matanya saat mengantarku pulang di penghujung hari dan senyum kami berpamitan. Bolehkah aku membawanya pulang, memeluknya dalam tidur seperti boneka beruang yang kutemukan di etalase mahal?
Dia lemah dan kuatku. Jarak seperti ini seakan bom waktu dan siksa berbayang yang seringkali datang saat senja dan bayangan membisikkan ketakutannya. Adakah aku telah menjadi yang baik untuknya? Adakah aku yang buatnya tersenyum bangga, tersenyum di saat dunia mengguruinya, dan buatnya menjadi seorang yang lebih baik?
Adakah aku menjelaskan hal yang terlalu rumit dalam sebuah keterkaitan hubungan pria dan wanita?
Aku mengingkari nurani saat dengan jelas mengungkap di depan wajahnya, aku rela bila kami tiba di satu titik saat ia merasa menemukan belahan jiwanya. Dia bilang tidak. Logikaku bicara, hidup itu tidak pernah menjadi sebuah undian. Kadang ia balik tersenyum, dan kadang ia pergi begitu saja. Aku membohongi mimpi yang tertanam saat aku melepas jemarinya pergi. Dan aku selalu bersiap. Jalan kami tak semudah jalan layang yang halus dan mahal. Jalan yang kami lewati sederhana, berlubang. Tapi aku berjanji tak akan melepaskan jemari itu sebelum jemarinya sendiri yang meronta. Bukankah setidaknya saat itu benar akan terjadi, aku tahu aku sudah memberinya bagian terbaik dari jiwa ini? Setidaknya. Ya, setidaknya.
Aku mau tahu bagaimana jika ia tahu ada seorang teman dengan tatapan yang selalu menenangkan yang berjanji menunggu dari jarak ratusan kilometer dan mengatakan, bahwa waktu untuk kami berdua akan datang. Eventually. Aku mau tahu tapi tak mau dia tahu. Aku mau lihat senyum di ujung garis wajahnya yang tegas. Yang manja dan dewasa, yang tidak sempurna tapi hanya raut wajah itu yang kurindukan dalam tiap desah angin yang merayu. Suara dan wajah lain menyapa, tadi tahukah kamu ada suatu saat dimana merekalah angin dan hanya satu yang kausebut dalam doa sebelum tidurmu?
Di akhir doamu dan aku bertanya, iakah benar? Ataukah ini ilusi yang dibentuk oleh cita bawah sadarku? Adakah ia yang kupanggil belahan pribadiku, teman yang membaca hal sebelum kuucap yang tahu raut wajahku saat tak melihatku dari jarak yang tak masuk akal, yang seharusnya kuhampiri? Adakah ketika yang sebenarnya memanggil, aku menulikan hati karena mengikat hati dengan pria yang selalu melangkah bersamaku?
Aku belajar dari melihat dan mendengar, selalu begitu. Aku dikecewakan mereka yang mengaku mencintaiku tanpa pamrih. Janji dan keyakinan mereka atas dunia sirna di ujung lidah mereka sendiri. Seperti porselen cantik yang kusimpan di atas meja, tersenggol sebuah jari dan pecah berkeping-keping. Selesai. Aku menolak untuk menilai. Aku tidak mau tahu karena aku mau dunia yang baik, yang dulu mereka suapkan ke dalam mulutku masih ada masih nyata. Cacat itu bukan harga mati. Bangsat. Mereka kira maaf akan selesai. Lebih tolol daripada seorang anak yang mencuri di bus kota. Menyedihkan dan merasuki sebagian dari jiwa yang tumbuh bersama mereka. Kapan pernah menjadi benar? Dan bilamana semua hanya topeng? Aku kira mereka yang disebut dewasa, disebut pembimbing tinggi.
Keyakinan pada binar mata itu perlahan sirna. Bukan karenanya, tapi karena realitas yang harus terbuka pada akhirnya. Dan aku menolak untuk mencampurkan kami ke dalam kebobrokan cerita mereka. Aku tahu ada sebuah akhir yang menunggu, aku tahu dia selalu menunggu. Dia yang menjadi badut saat aku merengut dan selalu bisa membalasku hingga kehabisan kata. Bodohnya. Satu merasa tak cukup untuk lainnya, selalu begitu. Dan padahal kami tak perlu kemana-mana.
Aku disini, dia disini. Satu.
Subscribe to:
Posts (Atom)